RSS

Gelar Sarjana, Keahlian atau Prestise Belaka

02 Jan

Posted by Ifhan Firmansyah (ifhanfirmansyah@gmail.com) 

Gelar sarjana bagi sebagian orang merupakan sebuah pencapaian dengan pengorbanan yang tidak sedikit yang diharapkan mampu memberikan mereka keahlian yang berguna di suatu hari kelak. Akan tetapi ada sebagian orang lain mencari gelar sarjana hanya sebagai gagah-gagahan atau ajang pamer ke orang-orang di sekitarnya. Orang-orang inilah yang dapat merusak citra pendidikan karena mereka mampu menghalalkan segala cara untuk memperoleh gelar tersebut. Salah satu contohnya yaitu jual beli tugas akhir ataupun plagiat tugas akhir. 

Syarat untuk mencapai kelulusan dan gelar sarjana yaitu dengan membuat tugas akhir atau skripsi. Hal inilah yang tak jarang menjadi momok bagi mahasiswa tingkat akhir. Tak heran ada mahasiswa yang tidak lulus hanya karena tugas akhirnya belum selesai. Karena itu, tidak jarang mahasiswa menempuh jalur cepat, yakni membeli. Bagi mereka yang hanya menginginkan gelar sarjana membeli tugas akhir bukan merupakan suatu keanehan tetapi bisa menjadi suatu keharusan. 

Praktik memperjualbelikan tugas akhir atau skripsi bukan hal baru lagi. Kedengarannya praktik itu memang janggal. Tetapi, hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Dengan menyiapkan uang sesuai kesepakatan, mahasiswa akan menerima tugas akhir atau skripsi secara utuh. Ironisnya, pihak akademik kurang bisa mengendus apakah tugas akhir mahasiswa benar-benar karya autentik, plagiat, atau dibuatkan orang lain. 

Memperjualbelikan atau jasa pembuatan tugas akhir atau skripsi adalah kejahatan akademik atau academic crime dan moral assasine. Sebab, dalam kultur akademik, penjiplakan karya ilmiah atau dibuatkan orang lain merupakan pelanggaran yang tak bisa ditoleransi. Sanksi yang dijatuhkan pun cukup ekstrem, yakni dikeluarkan dari institusi pendidikan. Tetapi, di negeri ini, kultur akademik hanyalah retorika. Kejahatan seperti itu memang sudah legal dalam dunia akademik kita. 

Dalam kacamata pendidikan, hal itu merupakan kegagalan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan hanya melahirkan kaum akdemisi instant dan pragmatis. Pelaksanaan proses belajar-mengajar sekadar memenuhi tuntutan formal akademik lembaga pendidikan, misalnya demi mendapatkan ijazah guna memasuki dunia kerja. Kultur yang semacam inilah yang nantinya dapat membentuk paradigma baru bahwa kuliah hanya untuk mencari gelar atau untuk meningkatkan prestise seseorang bukan untuk mencari suatu keahlian.

 

Leave a comment